Definisi dan Konsep Khilafah, Imamah dan Shulthonah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemikiran terhadap politik Islam sangat berkembang sangat luas, tidak lain karena berbagai peristiwa penting dimulai sejak zaman Rasulullah hijrah ke Madinah. Di sana berbagai hubungan sosial dijabarkan oleh Rasulullah, baik menyangkut kehidupan internal umat muslimin ataupun hubungan antara agama dan suku lain dalam membangun Madinah. Di madinah terdapat sebuah konstitusi yang menjamin sebuah perbedaan di antara kaum yabg beragam, agama yang berbeda di sana yaitu Piagam Madinah.
Sistem yang dibangun Rasulullah dan kaum mukminin yang hidup bersama beliau di madinah, jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan variabel-variabel politik di era modern dapat dikatakan bahwa system itu adalah sistem politik par excellence . Dalam waktu yang bersamaan juga tidak menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem religious, jika dilihat dari tujuan-tujuan, motif-motifnya dan fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak. Dengan demikian, suatu sistem dapat menyandang dua karakter itu sekaligus karena hakikat Islam yang sempurna merangkum urusan-urusan materi dan ruhani, dan mengurus perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupannya didunia dan akhirat.
Dalam politik Islam mengenal namanya kepemimpinan, untuk memahami sebuah konsep dari sebuah kepemimpinan maupun gelar yg diberikan dalam khasanah Islam terlebih dahulu memahami definisi makna dari sebuah kepemimpinan tersebut baik secara etimologi maupun terminologi. Diantara gelar Negara tersebut ialah khalifah, amirul mu�minin, imam, sulthon, Perdana Menteri dan Presiden.
Dalam makalah kali ini penulis akan menguraikan istilah, karakter dan latar belakang historis dari gelar kepala Negara tersebut. Empat istilah pertama biasanya digunakan dalam masa pemerintahan islam klasik mulai dari masa khalifah hingga masa Abbasiyah, walaupun pada masa kontemporer ini salah satu istilah tersebut masih digunakan seperti gelar sultan imam atau imamah. Namun, dua gelar terakhir lebih banyak dipakai pada masa kontemporer ini dari pada masa klasik.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Imamah, Imarah, Khilafah, dan Sulthon?
2. Bagaimana Konsep Imamah, Imaroh, Khilafah dan Sulthon dalam Khazanah Islam?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Imamah, Imarah, Khilafah dan Shulthon
1. Definisi Imamah
Imamah menurut bahasa adalah keimaman, kepemimpinan, pemerintahan, kata imamah ini se-analog dengan kata khilafat. secara terminologi imamah adalah kepemimpinan yang berkaitan dengan urusan keagamaan dan urusan dunia sebagai pengganti fungsi rasulullah SAW. Senada dengan ini dikemukakan oleh al-Taftazani sebagaimana dikutip oleh Rasyid Ridho, imamah adalah kepemimpinan umum dala urusan agama dan dunia yakni suatu khilafah yang diwarisi Nabi. Demikian pula pendapat al-Mawardi Imamah dibentuk guna memelihara agama dan mengatur dunia .
Kata Imamah pada mulanya adalah suatu istilah yang netral untuk menyebutkan sebuah Negara. Dalam literatur klasik istilah imamah dan khilafah disandingkan secara bersamaan untuk merujuk pada pengertian yang sama. tetapi dalam perkembangannya imamah kemudian menjadi istilah khusus dikalangan Syi�ah yang dikontekstualisasikan dalam bentuk wilayah al-Faqih .
Istilah Imamah lebih banyak digunakan oleh kalangan Syiah. Kelompok Syiah memandang imamah merupakan bagian prinsif dari ajaran agama .Dalam persfektif kontemporer lembaga imamah tersebut dapat diidentikan dengan lembaga kepresidenan . Berbeda dengan syiah, ahlussunnah waljamaah (suni) memberi pengertian imamah bukanlah sebuah jabatan atau warisan dan bukan pula masalah prinsip atau rukun dalam agama. menurut ahlussunah waljamah imamah ini tidak lain hanyalah dikenal dengan istilah imam shalat .
2. Definisi Imarah
Imarah yang berarti keamiran yaitu pemerintahan, pengertian ini tidak jauh berbeda dengan imamah, hanya saja perbedaannya ditinjau dari segi penggunaannya. Imarah merupakan sebutan untuk jabatan amir dalam suatu Negara kecil yang berdaulat untuk melaksanakan pemerintahannya oleh seorang amir .
Penggunaan kata imarah ini pertama kalinya diberikan kepada khalifah ke-2 yaitu Umar bin Khattab yang bergelar amirul mukminin. Umar tidak mau menyebut dirinya sebagai khalifah dikarenakan khawatir terjadi pengulangan kata khalifah. bila gelar khalifah tetap dipertahankan, ia khawatir pada khalifah-khalifah muncul belakangan akan terjadi pengulangan kata khalifah yang begitu panjang .
3. Definisi Khilafah
Kata khilafah berasal dari kata khalafa yang berarti seseorang yang menggantikan orang lain sebagai penggantinya. istilah khilafat adalah sebuah sebutan untuk masa pemerintaha khalifah. dalam konsep ini kata khilafat bisa mempunyai arti sekunder atau arti bebas yaitu pemerintahan. Menurut ibnu khaldun khilafah adalah tanggung jawab umum yang dikehendaki peraturan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat bagi umat dengan merujuk kepadanya .
Khilafah adalah pemerintahan Islam yang tidak dibatasi oleh territorial, sehingga khilafah Islam meliputi berbagai suku bangsa. ikatan ikatan yang mempersatukan kekhalifahan adalah Islam sebagai agama. Yang pada intinya, khilafah merupakan kepemimpinan umum yang mengurusi agama dan kenegaraan sebagai wakil dari Nabi SAW .
4. Definisi Sulthon
Sulthon dalam bahasa Arab adalah kata benda abstrak yang berarti kekuasaan atau pemerintah. Kata ini pada mulanya digunakan hanya sebagai suatu abstraksi. Bahkan belakangan, ketika kata itu biasa digunakan untuk menunjuk orang, kita kadang-kadang masih menemukannya dalam pengertiannya sebagai suatu abstraksi. Tampaknya, kata ini pertama-tama telah diterapkan secara informal untuk menunjuk menteri, gubernur, atau figur-figur penting lainnya. Sebutan sultan konon telah diberikan untuk pertama kalinya oleh khalifah Harun al-Rasyid kepada wazimya .

B. Konsep Imamah, Imaroh, Khilafah dan Sulthon dalam Khazanah Islam.
1. Konsep Imamah
Kata imamah biasanya diidentikan dengan kata khilafah. keduanya menunjukan kepada pengertian sutu kepemimpinan dalam Islam. Pada awalnya imamah merupakan suatu istilah yang netral untuk menyebut sebuah Negara. dalam literature klasik istilah imamah dan khilafah disandingkan secara bersamaan untuk menunjukan pengertian yang sama, yakni Negara dalam sejarah Islam . Tetapi dalam perkembangannya istilah imamah kemudian menjadi istilah khusus dan lebih banyak digunakan oleh kalangan syiah.
Syiah berpendapat keimamahan itu lebih spesifik dari pada khilafah, maksud dari hal itu adalah keimamahan lebih sempurna (daripada kekhilafahan), imam hanya bermakna bahwa dia adalah hak legal yang padanya dalam konteks undang-undang modern de jure, sama adanya benar-benar menduduki pemerintahan atau tidak .
Kunci utama sistem imamah dalam politik syiah terletak pada posisi imam. karena status politik dari pada imam adalah bagian dari esensial dalam mazhab syiah imamiyah. mereka dianggap sebagai penerus harus ditunjuk oleh allah dan Nabin-Nya. Para imam dianggap sebagai penerus nabi dan pewaris yang sah dari otoritasnnya. Imamah adal intistusi yang dilantik secara ilahiyah, hanya Allah yang paling tahu siapa yang memiliki kualitas-kualitas yang diperluakan untuk memenuhi tugas ini. Oleh Karena itu hanya Dia lah yang mampu menunjuk mereka. Siah menganggap imamah seperti kenabian, menjadi kepercayaan yang fundamental, dan ketaatan pada otoritas imam adalah sebuah kewajiban agama.
Doktrin politik syiah muncul dari konsep kepemimpinan imamiyah selama periode ghaib besar dimana imam kedua belas ghaib. akidah imamiyah mengadopsi sistem niyabah . dengan demikian, perwalian ahli fiqh disahkan dan otoritasnya dihubungkan dengan otoritas yang asli dan mutlak dari Allah. para imam yang otoritasnya dibentuk atas pengukuhan secar eksplisit dari Nabi mendelegasikan dan mempercayakan suatu derajat tertentu dari otoritasnya pada mereka yang memiliki kwalitas sfesifik . meskipun dimasa kegaiban imam, namun diperlukan terpelihara dan terjaganya aturan-aturan Islam yang berhubungan dengan pemerintahan yang dapat mencegah terjadinya anarki .
Untuk menentukan hubungannya dengan pemerintahan, Ibnu Khaldun mengklasifikasikan yang dapat membedakan jenis-jenis pemerintahan satu sama lain, sehingga mendapatkan subtansi dari setiap sistem pemerintahan hanyalah undang-undang. Jenis undang-undanglah yang mejelaskan karakter suatu sisitem pemerintahan .
Konsep imamah dikembangkan oleh kaum Syi'ah untuk menunjuk pemimpin politik, keagamaan dan spiritual. Dengan munculnya imam, maka tidak ada seorang pun yang berhak mengklaim memiliki otoritas agama dan politik. Dalam istilah ini melihat kepada pendekatan dari pemikir islam seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Hazm dan Al Mawardi terhadap imam. Untuk mengetahui pandangan mawardi terhadap Negara maka secara tidak langsung harus mengetahui konsepnya tentang imamah dan imam. Dalam pandangannya imamah sebagai sebuah lembaga politik yang sangat sentral dan penting dalam Negara. Ia juga menyatakan bahwa tugas utama imamah ialah menjalankan fungsi kenabian dalam melindungi agama dan mengatur dunia.
Al Mawardi memberikan sebuah pernyataan terkenal, �Imamah dilembagakan untuk menggantikan kenabian guna melindungi agama dan mengatur dunia� .
Dalam teori Al Mawardi, pelembagaan imamah dilakukan karena adanya perintah agama, dan bukan karena pertimbangan akal. Teori ini jelas bertentangan dengan pandangan syi�ah yang menyatakan bahwa jabatan imam ditetapkan atas dasar nass (penetapan oleh tuhan dan nabi) atau penunjukan langsung oleh imam sebelum dari kalangan keluarga ahlul bayt. Sedangkan menurut Ibnu Khladun penamaan kepala Negara islam dengan imam adalah dianalogikan dengan imam shalat dalam mengikuti dan meniru. Oleh sebab itu kepemimpinan Negara islam disebut imamah kubra (kepemimpinan besar) untu membedakannya dengan imamah shugra (kepemimpinan kecil) dalam shalat, haji dll.
Ibnu Hazm berkata : � penamaan kepala Negara islam dengan imam dapat juga dikenakan pada seorang ulama faqih dan ilmuwan serta orang yang memimpin shalat di mesjid manapun. Akan tetapi dengan dibubuhkanya pada kata lain, tidak mutlak, sehingga dikatakan: fulan adalah imam dalam agama, imam suku fulan, dan begitu seterusnya. Maka seorang tidak disebut imam kecuali ia menangani urusan pemeluk Islam�.
Konsep politik syiah yang berpusat pada imam dalam periode modern dalam bentuk negara Iran. Iran menjadi penjelmaan konsep politik syiah setelah revolusi IslamIran tahun 1979 yang dipimpin oleh Imam Khomeini. setelah diterimanya konstitusi Iran melalui referendum tanggal 2 dan 3 desember 1979, Iran melangkah kea rah normalisasi kehidupan politik. Konstitusi yang terdiri dari 175 artikel ini dibuat berdasarkan hukum Islam yang ditafsirkan oleh dewan ahli dan telah disetujui oleh Imam Khomeini. Ada lima lembaga penting didalamnya, yakni Faqih, Presiden, Perdana Menteri, Parlemen, dan Dewan Pelindung Konstitusi. kekuasaan tertinggi dipegang oleh Faqih yang wewenangnya akan dipegah oleh sebuah dewan yang beranggotakan tiga sampai lima fuqoha. Pemegang kekuasaan terbesar kedua adalah presiden yang dipilih setiap empat tahun. kekuasaan legislative dipegang oleh parlemen yang beranggotakan 270 orang yang dipilih secara bebas dan rahasia oleh rakyat. Disamping parlemen Iran memiliki Dewan Pelindung Konstitusi yang beranggotakan 12 orang .
2. Konsep Imarah
Imarah yang berarti keimaman, kepemimpinan, pemerintahan. Imarat sebutan untuk jabatan amir dalam suatu Negara kecil yang berdaulat untuk melaksanakan pemerintahannya oleh seorang amir. Gelar amir pertama kalinya digunakan oleh khalifah kedua yaitu Umar bin Khattab, Umar tidak mau menyebut dirinuya sebagai khalifah. Umar mnyuruh agar mneyapa dia dengan sebutan ami al mu�minin yang kemudian menjadi gelar standard an umum digunakan untuk menyebut khalifah-khalifah sesudahnya.
Gelar Amir yang tanpa embel-embel, berasal dari kata amara yang berarti memerintah. Dalam bahasa Arab amir berarti seseorang yang memerintah, seorang komandan militer, seorang gubernur provinsi, atau putra mahkota .
Pada awal pemerintaha Islam, masa Rasul, al Khulafur Rasyidin, pengusa daerah disebut amir (pekerja, pemerintah, gubernur). selama pemerintahan Islam di Madinah, para komandan militer, komandan divisi militer disebut amir, yaitu amir al jaisy atau amir al jund.
Pada masa Dinasti Umayah gelar amir hanya digunakan untuk penguasa daerah propinsi yang juga disebut wali (hakim, penguasa, pemerintah). Tugasnya pun mulai dibedakan dan didampingi oleh pejabat yang diangkat. Pada masa Dinasti Abbasiyah, penguasa daerah atau gubernur juga disebut amir. Umumnya yugas amir pada periode ini mengelola pajak, mengelola administrasi urusan sipil, dan keuangan.
3. Konsep Khilafah
Khilafah merupakan sebuah pemerintahan Islam yang tidak dibatasi oleh teritorial sehingga pemerintahan Islam meliputi beraneka ragama suku, bangsa, dan agama. Menurut Ibnu Khaldun khilafah merupakan kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakan hukum-hukum syariat Islam dan memikul dakwah Islam keseluruh dunia.
Persoal keagamaan dan politik yang muncul pada sekitar abad pertama dan kedua Islam ialah persoalan pemilihan dan pengganti khalifah atau imam. istilah khalifah atau imam sering dipakai secara bergantian, tetapi sampai batas tertentu keduanya bisa dibedakan. Istilah khalifah terutama dipakai untuk menunjuk pemimpin setelah Nabi .
Setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijma� dan besepakat untuk mendirikan kekhalifahan. Jabatan ini merupakan pengganti Nabi SAW, dengan tugas yang sama yakni mempertahankan agama dan menjalankan kepemimpinan dunia. lembaga ini disebut khilafah (kekhalifahan), orang yang menjalankan tugas itu disebut khalifah.
Khilafah memiliki sistem pemerintahan. Pertama, berdasarkan syura� pernah dipraktekan pada masa al-Khulafaur Rasyidin. Ciri yang menonjol dari sistem pemerintahan khilafah berdasarkan syura� terletak pada mekanisme musyawarah, bukan dengan sistem keturunan. tidak satupun dari empat khalifah tersebut menurunkan kekuasaannya kepada sanak kerabatnya. musyawarah menjadi cara yang ditempuh dalam menjalankan kekuasaan sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah.
Kedua, sistem pemerintahan khilafah monarki yang dimulai setelah masa kekhilafahan khulafaur rasyidin yang dilanjutkan oleh Dinasti Umayah. Sistem monarki menerapkan sistem wari (putra mahkota) dimana singgasana kerajaan diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang tuanya. kedudukan sebagai raja adalah suatu kedudukan yang terhormat dan diperebutkan, karena memberikan kepada orang yang memegang kedudukan itu memeberikan sebuah kekayaan dan kekuasaan. sistem monarki merupakan sistem pemerintahan yang menjadikan raja sebagai sentral kekuasaan. seorang raja berhak menetapkan aturan bagi rakyatnya. Sistem khilafah monarki ini terus berlanjut hingga kekuasaan Islam dipegang oleh Turki Usmani yang timbul di Istambul pada 699 H/1299 M.
Pada periode modern ada beberapa kelompok yang memiliki kecenderungan pemikiran politik Islam, yaitu integralisme, interseksion, dan sekulerisme . Pertama, memiliki pandangan bahwa agama dan politik adalah menyatu, tak terpisahkan, Kedua, memiliki pandangan bahwa agam memiliki simbiosis atau hubungan timbale balik yang saling bergantungan, Ketiga, agama harus dipisahkan dengan Negara dengan argumen Nabi SAW. tidak pernah memerintahkan untuk mendirikan sebuah Negara.
Pada masa ini munculah Hizbut Tahrir (HT) yang menyatakan khalifah kepala Negara harus dipilih umat Muslim. Pengisian jabatan kepala Negara melalui penunjukan yang lazim dilakukan para Raja, tidak dibenarkan oleh Islam. Taqi al-Din al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir di kota al-Quds (Yerusalem) pada tahun 1372 H/ 1953 M, menyatakan, sistem putera mahkota adalah sistem yang munkar dan amat bertentangan dengan sistem Islam .
Secara historis, sejatinya HT tak langsung muncul dengan bertujuan mendirikan Khilafah Islamiyah. Awalnya tujuan mereka adalah nasionalisme Palestina saat Israel mulai mengadakan invasi militernya. Namun kemudian mereka beralih dan meningkatkan level perjuangan: mendirikan Khilafah. Hal ini berangkat dari sebuah paradigma ingin mengembalikan kejayaan Islam dari belenggu penjajahan. Dan menurut mereka, cara terbaik mencapainya adalah dengan mendirikan sistem Khilafah Islamiyah yang telah runtuh di Turki pada tahun 1924. Pada titik ini, sebenarnya terjadi konvergensi antara HT dengan umat Islam secara umum; keduanya merindukan kejayaan Islam. Hanya saja, cara yang ditempuh dan doktrin yang dipakai HT terkesan radikal, berbeda dengan paradigma lain.
Bagaimana mereka merealisasikan tujuan ini? Setidaknya ada tiga tahap yang dapat ditempuh. Pertama, mendirikan negara; kedua, kaderisasi; dan ketiga, kudeta politik. Dengan tahap pertama mereka berambisi untuk melindungi eksistensi umat Islam dari hegemoni Barat. Untuk menjaga militansi gerakan ini dan mewariskan ideologi Khilafah ini, mereka melakukan kaderisasi kaum muda demi meneruskan estafet perjuangannya. Jika dirasa memiliki kekuatan yang cukup di negara tertentu, Indonesia misalnya, Abdul Qadim Zallum dengan tegas menginstruksikan untuk melakukan kudeta politik: penggulingan kedaulatan pemerintahan dalam suatu negara. Dan tentunya ini sangat berbahaya bagi kedaulatan NKRI.
Dalam persoalan Khalifah HT dengan tegas menolak konsep duwail�t (negara-negara kecil). Bagi HT, duwailat akan melemahkan kekuatan Islam karena terbagi-terbagi sesuai kawasan teritorial. Oleh sebab itu, HT mengandaikan sebuah peleburan mutlak seluruh negara Islam di pelbagai belahan dunia untuk kemudian mendirikan satu negara yang dipimipin satau Khalifah. Dalam titik ini, ia mengingkari ijtihad para ulama klasik, semisal As-Subki dan Ibnu Taimiyah, yang mentolerir ta�addud al-aimmah (kepemimpinan berbilang) yang muncul sebagai respon politik paska runtunya Dinasti Abbasiyah. HT juga meyakini bahwa yang berhak membuat undang-undang negara hanya Khalifah. Hal ini berangkat dari sebuah asumsi bahwa Khalifah adalah wakil Tuhan di muka bumi. Jika logika ini diteruskan maka suara Khalifah adalah suara Tuhan, pegawainya pegawai Tuhan, menterinya menteri Tuhan, gajinya gaji Tuhan dst.Tentunya, karena wakil Tuhan ia kebal kritik dan tak dapat diturunkan. Padahal sistem teokrasi ini sangat berbahaya karena akan membuka peluang yang besar terbentuknya pemerintahan despotis-tirani yang justru akan membahayakan rakyat, khususnya umat Islam. Paling tidak fakta historis membuktikan hal ini.
Pandangan-pandangan HT yang cukup aneh dan diskriminatif antara lain adalah penolakan mereka terhadap peran dan kontribusi non muslim di parlement. HT juga tidak memberikan hak suara pilih bagi non muslim dalam pemilihan umum (al-intikhab). Jadi, HT memandang non muslim sebagai masyarakat kelas dua di sebuah negara. Ini menunjukkan bahwa HT memiliki doktrin yang sangat berbahaya dan diskriminatif.
Kemudian di Indonesia muncul Hizbut at-Tahrir Indonesia yang sering kita kenal HTI. Tidak sekadar jumlah massa yang fantastis, tapi yang menggetarkan dalam sebuah momentum adalah Hizbut Tahrir Indonesia kini dengan lantang dan gagah menyuarakan khilafah di tengah Indonesia yang menganut konsep nation-state. Padahal konsep khilafah tentu saja berselisih dengan konsep nation-state dan demokrasi. Pihak HTI pun merasa sukses, tidak semata-mata pada penyelenggaraan acaranya namun yang lebih penting adalah keberhasilannya mengibarkan gagasan khilafah. Dan mereka pun kian pede.
HTI ini merupakan sebuah organisasi mempersepsikan Islam yang diyakini sebagai lembaga serba sempurna diandaikan telah menyediakan cetak biru (blue print) apa saja, termasuk sistem politik, yang wajib dan tinggal dipraktekkan. Khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan yang khas dengan ideologi Islam dan perundang-undangan yang mengacu pada al-Quran dan al-Hadis. Tegaknya khilafah diyakini mampu menegakkan syariat Islam dan mengembangkan dakwah ke seluruh penjuru dunia. Mereka secara obsesionis ingin memboyong masa kegemilangan peradaban Islam untuk bisa dipraktekkan saat ini dengan dalih untuk mempersatukan umat Islam di dunia. Mereka pun terlelap dalam glorifikasi sejarah Islam .
4. Konsep Sulthon
Sulthon yang berarti sebuah kekuasaan atau pemerintahan, pada awalnya digunakan hanya sebagai suatu abstraksi. Kata sulthon pada awalnya telah diterapkan secara informal untuk menunjuk menteri, gubernur, atau figur-figur penting lainnya. Sebutan sulthon konon telah diberikan pertama kalinya oleh khalifah Harun ar-Rasyid kepada wazirnya. Hal ini meragukan, tapi bukan suatu hal yang mustahil. kata tersebut kadang digunakan untuk menunjuk khalifah-khalifah, baik dari abbasiyah maupun fathimiyah .
Pada masa pemerintahan Daulat Abbasiyah memiliki sistem pemerintahan yaitu Sulthoh (kekuasan, kerajaan, pemerintahan), terdiri dari tiga lembaga, Pertama, as Sultah at Tanfiziyah (lembaga eksekutif), Kedua, as Sultah at Tasriyah (lembaga legislatif), dan Ketiga, as Sultah al Qadaiyah (lembaga yudikatif) .
Pada masa Saljuk, sultan mempunyai pengertian baru dan mengandung klaim baru, tidak kurang dari sebuah sebutan untuk sebuah imperium universal. Bagi orang-orang Saljuk, hanya ada satu sultan seperti halnya hanya ada satu khalifah, dan sultan adalah pemimpin militer dan politik Islam tertinggi. Bagi kaum muslim, kesultanan juga bersifat religius, sekurang-kurangnya dalam teori. Sultan Saljuk mengklaim suatu basis keagamaan bagi kekuasaannya sebagai pemimpin Islam, tapi ia membatasi klaimnya hanya pada fungsi politik dan militer, dan memberikan kepemimpinan keagamaan kepada khalifah. (Lewis, 1994: 73). Sejak itulah kita melihat berkembangnya teori maupun praktik pembagian kekuasaan antara kekhalifahan dan kesultanan sebagai dua kekuasaan tertinggi di dunia Islam.
Kekuatan institusi kesultanan ini mulai muncul dan berkembang pada masa ketika kaum saljuk yang bermazhab sunni menjadi sebuah kekuatan politik baru pada abad ke 11. Pada masa-masa ini institusi khalifah tidak mampu mepertahankan pengaruh politik dan keagamaan mereka. Sehingga institusi ini tidak mempunyai kekuatan politik yang kuat seperti kekuatan sebelumnya, yang tersisa hanya kekuatan akan kekuasaan spiritual. Sedangkan kekuasan politik dikuasai oleh institusi kesultanan. Pada kenyaatanya khalifah menjadi sebuah simbol, sedangkan dalam realitas kekuasan politik berada ditangan sultan.

BAB III
KESIMPULAN

Istilah imamah, imaroh, khilafah dan sulthon memiliki pengertian yang tidak jauh berbeda hanya saja berbeda dalam pemakaian istilah tersebut. Istilah Imamah lebih banyak digunakan oleh kalangan Syiah. Kelompok Syiah memandang imamah merupakan bagian prinsif dari ajaran agama. Dalam persfektif kontemporer lembaga imamah tersebut dapat diidentikan dengan lembaga kepresidenan.
Imaroh mempunyai pengertian keamiran yaitu pemerintahan, pengertian ini tidak jauh berbeda dengan imamah, hanya saja perbedaannya ditinjau dari segi penggunaannya. Imarah merupakan sebutan untuk jabatan amir dalam suatu Negara kecil yang berdaulat.
Istilah khilafah dipakai untuk menunjuk pemimpin setelah Nabi. Setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijma� dan besepakat untuk mendirikan kekhalifahan. Jabatan ini merupakan pengganti Nabi SAW, dengan tugas yang sama yakni mempertahankan agama dan menjalankan kepemimpinan dunia. lembaga ini disebut khilafah (kekhalifahan), orang yang menjalankan tugas itu disebut khalifah.
Di era modern munculah Hizbut Tahrir (HT) yang menyatakan khalifah kepala Negara harus dipilih umat Muslim. Pengisian jabatan kepala Negara melalui penunjukan yang lazim dilakukan para Raja, tidak dibenarkan oleh Islam. Taqi al-Din al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir di kota al-Quds (Yerusalem) pada tahun 1372 H/ 1953 M, menyatakan, sistem putera mahkota adalah sistem yang munkar dan amat bertentangan dengan sistem Islam.
Istilah sulthon pada awalnya telah diterapkan secara informal untuk menunjuk menteri, gubernur, atau figur-figur penting lainnya. Sebutan sulthon konon telah diberikan pertama kalinya oleh khalifah Harun ar-Rasyid kepada wazirnya. Hal ini meragukan, tapi bukan suatu hal yang mustahil. kata tersebut kadang digunakan untuk menunjuk khalifah-khalifah, baik dari abbasiyah maupun fathimiyah.

DAFTAR PUSTAKA

Pulungan, Suyuti, Fiqh Siyasah (Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran). Cet. ke-5. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002.
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah (doktrin dan Pemikiran Politik Islam). Jakarta: Erlangga. 2008.
Iqbal, Muhammad, Drs. M.Ag., Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam). Cet. Ke-2. Jakarta Gaya Media Pratama. 2007.
Ensiklopedi Hukum Islam. Cet. Ke-3. Jakarta: PT. Ichtiar baru van Hoeve. 1999.
Drs. Nur Mufid, M.A., Drs, Nur Fuad, M.A., Bedah Buku al-Ahkam as-Sulthoniyah. Surabaya: Pustaka Progresif. 2000.
http://grms.multiply.com/journal/item/13.
http://www.akhmadsatori.co.cc/2009/12/konsep-politik-wilayatul-faqih-.
http://www.desantara.org/page/information/essay-articles/2491/Khilafah-Islamiyah-Mimpi Besar-Yang-Tak-Mendasar.
http://kuliahpemikiran.wordpress.com/2010/06/30/adakah-konsep-khilafah-dalam-khasanah-islam/.





Baca Juga