Wakaf

Menurut hanafiah: menahan benda atas nama milik wakif, sedangkan yang disedekahkan adalah manfaatnya. NB: wakaf masih milik wakif.
Menurut malikiyah: menjadikan manfaat harta milik walaupun dengan cara sewa atau bagi hasil, diberikan kepada yang berhak dengan penyerahan berjangka sesuai dengan yang diinginkan si wakif.
Menurut syafi’iyah: menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap kekalnya barang tersebut, tetapi sudah terputus dari penguasaanya dan dibelanjakan pada hal-hal yang dibolehkan oleh agama.
Menurut hanabilah: pembatasan terhadap pemilik harta secara mutlak untuk membelanjakan hartanya yang bermanfaat dengan tetap barangnya tetapi terputus dalam penguasaannya yang mana hasilnya dibelanjakan kepada hal-hal yang baik untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Dasar-dasar hukum wakaf
1. Wakaf sebagai amal kebajikan
Al-Imron: 92
            •    
92. kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.
Al-Hajj: 77
            
77. Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.
2. wakaf sebagai sodaqoh jariyah
3. wakaf sebagai simpanan akhirat
4. wakaf sebagai wujud kepekaan sosial
                             •                      •   •    
2. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah[389], dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram[390], jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya[391], dan binatang-binatang qalaa-id[392], dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya[393] dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
5. masjid/ tempat ibadah sebagai pengamalan wakaf
Al-Israa: 1
                      
1. Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya[847] agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

Al-hajj: 40
               ••                       
40. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan Kami hanyalah Allah". dan Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa,
Syarat rukun wakaf
Wakaf adalah suatu perbuatan hukum oleh karena itu dalam pelaksanaanya harus diperhatikan syarat dan rukunnya.
Rukun wakaf (4):
1. Wakif 3. Maukuf alaih (tujuan atau orang yang diserahi wakaf)
2. Maukuf 4. Sighat (pernyataan wakaf).
Keterangan:
1. Karena wakaf merupakan perbuatan hukum maka pelakunya harus orang yang ahliyat tabarru’, yaitu orang yang cakap bertindak atas namanya sendiri tanpa adanya paksaan dan tidak berada dibawah pengampuan almahjur alaih (shobiy, majnun, ma’tuh, safih)
Para fuqaha’ berbeda pendapat dalam menetukan syarat-syarat wakaf, SBB:
Menurut hanafiyah
Dari keterangan diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa, wakif disyaratkan:
1. Orang dewasa 4. Rela
2. Berakal sehat 5. Sehat
3. Pemilik harta/ wakilnya
Dan wakaf itu tidak sah jika dilakukan oleh:
1. Orang pemboros 5. Idiot
2. Anak kecil 6. Dipaksa
3. Orang gila 7. Orang bodoh
4. Orang yang berada di bawah pengampuan
Tetapi muhammad abu zahra mengatakan bahwa budak boleh mewakafkan hartanya jika ada izin dari majikannya. Juga menurut dhohiryi.
Syafi’iyah berpendapat bahwa: orang bodoh/ pemboros itu bisa menjadi ahliyatttabarru’ setelah ia meninggal dunia, oleh karena itu wakaf dengan cara wasiat hukumnya sah.
Harta milik yang sah diwakafkan bila, harta milik itu berupa:
(1) Harta bernilai/ berguna; (2) Milik sendiri; (3) Tahan lama
Menurut Hanafiyah, prinsipnya syarat harta yang diwakafkan adalah: benda tak bergerak (‘Uqar) yaitu: tanah.
Akan tetapi boleh mewakafkan harta/ benda bergerak sebagai suatu pengecualian, jika:
1. Benda itu selalu ikut benda tak bergerak dalam hal ini ada 2 macam:
a. Hubungannya sangat erat dengan barang tak bergerak
b. Sesuatu yang khusus disediakan untuk kelestarian benda tak bergerak, seperti: alat pembajak/ sapi.
2. Sesuatu yang menurut atsar/ hadis boleh diwakafkan, seperti: pedang, baju perang/ hewan yang dipersiapkan untuk peperangan.
Al-anfal: 60
  •         •  •                     
60. dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).
3. sesuatu yang menurut adat kebiasaan sudah biasa diwakafkan, seperti kitab suci.
Menurut Malikiyah,
Segala sesuatu yang dapat memberikan manfaat boleh diwakafkan, baik benda bergerak maupun tak bergerak, baik waktu sekamanya atau waktu tertentu, baik taha lama atua sekali pakai.
Menurut Syafi’iyah
Sah mewakafkan sesuatu baik benda tak bergerak, benda bergerak maupuan barang kongsian asalkan kekal manfaatnya atau tahan lama.
Menuut Hanabilah
Sah mewakafkan segala sesuatu yang dapat diperjualbelikan, asalkan taham lama dan bermanfaat.
Harta benda wakaf menurut UU
Pasal 1 (5)
Harta benda yang memiliki daya tahan lama dan atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariat yang diwakafkan oleh wakif
Pasal 15
Harta benda wakaf (HBW) hanya bisa diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah.
Pasal 16 (1)
HBW terdiri dari: a. Benda bergerak; (b) Benda tak bergerak
Pasal 16 (2)
Benda tidak bergerak:
a. Hak atas tanah
b. Barang/ bagian bangunan yang berdiri di atas tanah
c. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah
d. Hak milik atas satuan rumah susun
BTB lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 16 (3)
BB adalah HB yang tidak bisa habis dikonsumsi, meliputi:
a. Uang d. Kendaraan
b. Logam mulia e. Hak atas kekayaan intelektual (HAKI)
c. Surat berharga Kendaraan f. Hak sewa
g. HB lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Rukun-rukun Wakaf
(1) Wakif; (2) Maukuf; (3) Maukuf alaih; (4) Sighot
Jika yang dimaksud maukuf alaih itu orang atau orang-orang yang diberi wakaf maka ada 2 macam:
(a) Wakaf ahli/ dzurri; (b) Wakaf khoiri
1. Wakaf ahli adalah wakaf yang pada awalnya ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang/ lebih walaupun pada akhirnya untuk umum. Seperti wakafnya Abu Thalhah.
2. Wakaf khoiri adalah wakaf yang sejak awal ditujukan untuk umum walaupun hanya dalam waktu tertentu sesudah itu untuk diri si wakif, anak ibu, untuk seseorang/ beberapa orang dan selanjutnya untuk anak cucu mereka. Seperti wakafnya Umar bin Khattab.

Wakaf untuk diri sendiri? Para ulama berbeda pendapat:
1. Menurut Abu Yusuf (Hanafi), boleh. Begitu juga golongan Dhohiri.
Seperti yang dinyatakan Ibn Hazm dalam kitab Muhaalanya (jaizun lil mar’i an yahsiba ala man ahabba au ala nafsihi tsumma ala man yasyaa).
2. Menurut Muhammad bin al-Hasan (Hanafi), tidak boleh. Begitu juga menurut Imam Malik dan mayoritas Syafi’iyah, seperti yang dinyatakan as-Sairazi dalam kitab Muhadzdzabnya (wa la yajuzu an yaqiffa ala nafsihi wa la an yusytaratha min nafsihi minhu syaian).
3. Abdullah al-Zubaidi menyatakan Boleh, karena Ustman bin Affan ketika mewakafkan sumur rumah mengatakan: “dalwiy fiha kadzila’il muslimin” pendapat ini disangkal oleh jumhur bahwa: wakafnya Utsman bin Affan itu untuk umum, maka boleh, dia (Utsman) ikut mengambil manfaat dari wakaf itu, sebagaimana Rasulullah shalat di masjid yang beliau sendiri mewakafkan.
Pasal 1 (4)
Nadhir adalah pihak yang menerima HBW dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
Pasal 9
Nadhir meliputi:
a. Perseorangan
b. Organisasi
c. Badan Hukum
Pasal 10 (1)
Nadhir perseorangan hanya dapat menjadi nadhir apabila meliputi persyaratan:
a. WNI d. Amanah
b. Islam e. Mampu secara jasmani dan rohani
c. Dewasa f. Tidak terhalang melakukuan perbuatan hukum
Pasal 10 (2)
Nadhir organisasi:
a. Pengurus organisasi yang bersangkutan dan harus memenuhi persyaratan nadhir perseorangan
b. Organisasi yang bergerak dibidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan atau keagamaan islam.
Pasal 10 (3)
Nadhir badan hukum:
a. Pengurus badan hukum yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan nadhir perseorangan
b. Badan hukum Indonesia.
Pasal 11
Nadhir mempunyai tugas:
a. Pengadministrasian HBW c. Mengawasi dan melindungi HBW
b. Mengelola dan mengembangkan d. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada BWI.
Pasal 12
Dalam melaksanakan tugas nadhir dapat menerima dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan HBW yang besarnya tidak melebihi 10%.
Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas, nadhir memperoleh pembinaan dari menteri dan BWI.
Pasal 14 (1)
Dalam rangka pembinaan, nadhir harus terdaftar pada menteri dan BWI.
Pasal 14 (2)
Ketentuan lebih lanjut diatur dengan PP
Shighat (pernyataan) Wakaf
Pernyataan wakaf sangat menetukan sah dan batalnya suatu perwakafan, oleh karena itu pernyataan wakaf harus jelas, tegas, kepada siapa wakaf itu ditujukan dan untuk keperluan apa.
Dari definisi wakaf dari keterangan di atas dapat diambil pengertian, bahwa shighat harus:
1. Jelas tujuan
2. Tidak dibatasi dengan waktu tertentu
3. Tidak tergantung pada suatu syarat, kecuali syarat mati
4. Tidak mengandung suatu pengertian untuk mencabut kembali wakaf yang sudah dilakukan.
Pada dasarnya para fuqaha’ sepakat dengan syarat-syarat di atas kecuali dari golongan Maliki yang justru bertolak belakang dengan syarat-syarat tersebut.
Malikiyah berpendapat bahwa:
1. Bahwa wakaf tidak disyaratkan untuk selama-lamanya, walaupun itu berupa masjid dan tetapi boleh orang mewakafkan, untuk satu tahun atau lebih kemudian kembali menjadi miliknya.
2. Wakaf tidak harus bebas dari suatu syarat maka boleh orang mengatakan itu diwakafkan untuk ini, setelah 1 bulan/ 1 tahun, atau orang mengatakan rumah ini milik saya, maka rumah itu saya wakafkan, kemudian rumah itu menjadi miliknya kemudian diwakafkan.
3. Wakaf itu tidak harus ditentukan siapa pengelolaanya, maka boleh orang mengatakan “saya wakafkan harta ini untuk Allah swt tanpa ditentukan siapa yang menerima wakaf itu.


Lafadz-lafadz penyerahan wakaf:
1. Shorih : wakaftu, hasibtu, sabbaltu
2. Kinayah : tashaddaqtu, harramtu, abbadtu.
Jika menggunakan lafal shorih, maka wakaf itu sah. Karena lafal-lafal tersebut tidak mengandung pengertian lain kecuali pengertian wakaf,akan tetapi jika penyerahan wakaf menggunakan lafal kinayah, maka harus diiringi dengan niat wakaf karena tashaddaqtu bisa diartikan wakaf, bisa juga dikatakan zakat atau shadaqah biasa.
Pasal 17 (1)
Menyatakan bahwa:
Ikrar wakaf dilakukan oleh wakif kepada nadhir, dihadapkan PPAIW (pejabat pembuat akta ikrar wakaf) dengan disaksikan 2 orang saksi.
Pasal 17 (2)
Ikrar wakaf dinyatakan secara lisan dan atau tulisan serta dituangkan dalam AIW oleh PPAIW.
Pasal 18
Dalam hal wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan dengan dibenarkan oleh hukum, wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 orang saksi.
Pasal 19
Saksi dapat melaksanakan ikrar wakaf wakif atau kuasanya menyerahkan surat dan atau bukti kepemilikan atas HBW kepada PPAIW.
Pasal 20
Saksi dalam ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan, dewasa, islam, berakal sehat, tidak terhalang oleh perbuatan.
Pasal 21 (1)
Ikrar wakaf dituangkan dalam AIW.
Pasal 21 (2)
AIW paling sedikit memuat:
a. Nama dan identitas wakif
b. Nama dan identitas nadhir
c. Data dan keterangan tentang HBW
d. Peruntukan HBW.
Baca Juga