Hukum Isteri Menggugat Cerai Suami Dalam Islam

A. Pendahuluan.

Salah satu hal yang halal tapi dibenci Allah swt adalah perceraian. Hal ini karena perkawinan atau pernikahan adalah ikatan yang kuat, sakral, yang tujuannya adalah untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawadah wa rahmah dan tentunya untuk menjalankan sunatullah yang pada akhirnya untuk mencari ridlo Allah swt.
Namun begitu, apa yang kita inginkan dan idam-idamkan tidak selalu sejalan dengan faktanya. Ada kalanya ketidak cocokan justru timbul setelah menikah, atau setelah menikah ternyata salah satu pasangan tidak dapat memberikan keturunan. Sehingga menyebabkan salah satu pihak merasa tidak nyaman dan bahagia lagi hidup bersama dengan pasangannya.

B. Permasalahan.

Jika suami merasa rumah tangga sudah tidak dapat dipertahankan lagi, maka suami dapat menjatuhkan talak kepada isterinya. Lalu bagaimana Hukum Isteri Menggugat Cerai Suami Dalam Islam? sementara isteri tidak bisa mengucapkan talak kepada suaminya.

C. Dalil-dalil.

  1. Al-Quran:
    “…Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka…” (al-Baqarah [2]: 187)
  2. Hadis:
    Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a., bahwa suatu ketika, isteri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Rasulullah saw. lalu ia berkata, “wahai Rasulullah, sesungguhnya saya (hendak menceraikannya) bukan karena saya membenci perilaku dan keberagamaannya, melainkan saya tidak menyukai pembangkangan dalam Islam. Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Apakah kamu mengembalikan kebunnya?
    Lalu dia menjawab, “ya
    Rasulullah saw. bersabda kepada suaminya, “Terimalah kebunmu, lalu talaklah dia dengan sekali talak

D. Pembahasan.

Khulu’ disebut juga dengan al-fida’ “tebusan”. Hal ini karena sang isteri menebus dirinya dengan memberikan harta kompensasi kepada suaminya. Berdasarkan hadis Rasulullah saw di atas, maka khulu’ diperbolehkan dengan syarat apabila memang rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan dan isteri harus memberikan uang atau barang sebagai tebusan kepada suami sesuai dengan kesepakatan.
Dalam hukum positif di negara kita, inisiatif perceraian dari pihak isteri disebut dengan cerai gugat, dimana seorang isteri mengajukan surat gugatan kepada ketua Pengadilan agar menceraikan dia dengan suaminya dengan salah satu atau beberapa alasan sebagaimana tercantum dalam Inpres nomor: 01 tahun 1991 tentang penerapan Kompilasi Hukum Islam. Dalam pasal 39 Undang-undang nomor: 01 tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah nomor: 9 tahun 1975 jo. Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan sebagai berikut:
  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
  6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
  7. Suami melanggar taklik talak.
  8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Ayat 7 dan 8 hanya berlaku bagi yang mengajukan perceraiannya di Pengadilan Agama.

E. Kesimpulan.

Bahwa dalam ajaran Islam, seorang isteri boleh dan bisa saja menceraikan suaminya dengan menggunakan lembaga “khul’i”. Sedangkan dalam hukum positif, seorang isteri bisa mengajukan gugat cerai kepada suaminya agar pengadilan memutuskan ikatan perkawinannya dengan suaminya selama memenuhi salah satu atau beberapa alasan sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan di atas.
Baca Juga