Dua cangkir kopi

By: Qatrunnada Hulwah
Kepada malam,
Aku tak mampu berkata banyak,
Mengapa dunia tak mau terlelap?
Aku ingin mengintip mimpi,
Namun bunga tak mau mengajak,
Bersikeras tetap mekar di luar kepala,
Mengapa mata tak bisa berhenti menatap?
Rembulan telah enggan,
Menyuapkan dongeng sebelum kantuk,
Bintang-gemintang telah menggeleng,
Menyanyikan syair sebelum dengkur,

(Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang dimalam hari.)1

Asap obat nyamuk membumbung di udara, mencolek cuping hidung hinga terbatuk-batuk. Thoriq meletakkan secangkir kopi hangat di depan buku-buku belajarnya, ia menggaruk kepalanya gusar. Ingin tidur lagi tapi tidak bisa. Ia merindukan tidurnya tiga jam yang lalu. Dengung nyamuk yang menyebalkan. Suhu kamar yang begitu panas. Dan, yang paling meresahkan; suara ribut di ruang tengah. Ekor matanya melirik jam dinding, pukul 02.00 dini hari. Ia menghela napas. Gara-gara sepak bola dengan copa del rey, seisi rumah kecuali dirinya nongkrong di depan teveuntuk begadang.
Thoriq tersenyum kecut, ia tak suka dan tak ingin pura-pura suka bola. Trauma masa lalu. Beni kecil berpakaian merah putih, menendang benda bundar menampar telak pipinya. Keras. Riuh-rendah sorakan teman-teman. Thoriq kecil malu, tak bergerak. Air matanya menetes, dan tangisan adalah suatu aib bagi kaum adam. Itu kenangan paling buruk dalam hidupnya.
Pikirannya mencelat sampai kemana-mana. Tiga cangkir kopi yang telah tandas isinya, tertata rapi di meja belajarnya. Detak jam dinding bergemuruh lirih. Tentang Bu Hanum yang mengomelinya karena tugas dikumpul terlambat, tentang motornya yang manja minta didorong karena mogok, tentang mentoring bersama ikhwan-ikhwan yang membuatnya terus-terusan minder.
Minder? Sejak kapan perasaan itu mengungkung dirinya, serta hatinya? Pertama kali langkahnya menginjak teras mushola, bergabung dengan lingkaran para ikhwan untuk membahas semua aspek keislaman, maka saat itu ia mengambil keputusan yang cukup besar. Meninggalkan semua kesalahannya di masa putih-biru. Mana ada ikhwan suka balapan liar? Mana ada ikhwan suka ngegodain cewek-cewek seksi? Mana ada ikhwan sukagame daripada al-qur’an? Ia tercengang, suatu hari menjadi seorang ketua pelaksana sebuah seminar yang diadakan oleh Kelompok Studi Islam di sekolahnya. Mendapati dalam bayang cermin, bahwa kini ia sudah, (ehem) agak sedikit alim. Perubahan yang lumayan besar. Minder dan semangat belajar tertohok, ketika didapatinya ikhwan-ikhwan yang luar biasa dalam lingkaran taman syurga di mushola sekolah. Ada Fariz yang adzan dan tilawahnya merdu. Ada Fuad yang menyampaikan materi seperti seorang kyai yang menggebu-gebu dakwahnya. Ada Furqon yang tak pernah ketinggalan shaum senin-kamis, waktu tahajjud, waktu dhuha, dan dzikir petang-sore. Ada Rachmad yang gadhul basharnya top markotop. Dan, Thoriq.. Seorang ikhwan yang selalu dibakar semangatnya oleh Kakak murobbi mereka. Ia yang terbata-bata membaca al-qur’an, ia yang masih grogi dan tidak jelas menyampaikan materi, ia yang sering batal shaum sunnah, ia yang sering ketiduran waktu tahajjud, ia yang lebih memilih nongkrong di kantin daripada waktu dhuha di mushola, ia yang hobi main Clash of clans daripada dzikir pagi-petang, ia punya manik-manik mata yang suka curi-curi pandang kepada akhwat..
Thoriq terhenyak, tangan kanannya meraih secangkir kopi, lagi. Soal-soal fisika menantinya, mencengkeram erat bola matanya, menyakitkan kepala! Ia menyandarkan punggung di bangku, tubuhnya merosot, tatapan matanya terpaku pada gorden jendela. Angin malam beringsut masuk, hingga gorden jendela itu terbuka. Thoriq menyingkap gorden jendela. Dadanya sedikit bergetar, terguncang pelan. Dilihatnya sebuah jendela, ingatannya memantul dalam kenangan. Terayun-ayun, menggantung di pelupuk matanya.
Jendela.. Merah muda. Berjarak sepuluh meter dari jendela kamarnya. Cahaya temaram berpendar di kaca jendela kamar itu.Kenangan itu memantul-mantul dalam otaknya, menggantung dalam ingatan yang mendekam sudah lama. Jendela yang sering ia masuki di siang hari, anak nakal. Jendela yang sering ia tengok, sepulang sekolah. Bersama gadis cilik berambut cepak, memakai baju terfavorit kaos bergambar batman. Jendela yang digunakan sebagai jalan pintas, menuju tangga, merayap ke atap rumah.Berdua menatap langit sore, berceloteh menukar cerita, dan mengucapkan kalimat-kalimat harapan yang berakhir dengan kata “aamiin“.
Kenangan itu merangkak, mengerak di masing-masing kepala. Waktu terus bergerak. Langit sore yang semakin jingga, pertukaran cerita yang semakin meremaja, dan harapan-harapan yang sudah tak ingin diungkapkan lagi. Cukup di simpan dalam sudut hati. Rapat-rapat. Sampai salah satu dari mereka berhenti melompati jendela, berhenti merayap ke atap rumah, berhenti bersama. Masa putih-biru yang berbeda, memaksa mereka berpisah.Lama-kelamaan, kenangan masa kecil itu hilang. Seolah hanya bayangan mimpi saat mata terpejam sebentar. Indah.. Namun, hei, kita hidup tidak melulu di masa lalu, ‘kan?
besambung…..
Baca Juga